Suara Purwokerto -
Dalam kitab Al-lu lu wal Marjan Juz II (hlm. 1146) tersua hadits berikut. Ibnu Umar RA berkata, Nabi bersabda, Saya mimpi bersiwak. Lalu, datang kepadaku dua orang yang satu lebih besar daripada yang lain, maka aku berikan sisa siwak tersebut kepada yang kecil, tiba-tiba aku ditegur: Dahulukan yang besar, maka langsung aku berikan kepada yang lebih besar/lebih tua (Bukhari, Muslim). Sekadar catatan, siwak adalah kayu yang biasa dipakai oleh Rasulluh untuk membersihkan gigi; bersiwak dengan kayu araak adalah amal mustahab alias sangat dianjurkan (sunnah).
Pokok bahasan kali ini adalah pentingnya orang tua bersikap adil kepada anak-anak, sebagaimana tuntunan Nabi.
Dalam praksis kehidupan, bersikap adil terhadap anak-anak menuntut orangtua untuk bersikap setara serta tidak pilih kasih. Namun demikian, adil tidak boleh dimaknai berlaku sama rata . Dalam hal pemberian, implementasi sikap adil adalah memberikan sesuatu sesuai dengan porsi kebutuhan alias proporsional.
Memberi uang saku kepada anak kita yang masih SD, misalnya, tentu berbeda dengan yang telah duduk di bangku SMP atau SMA. Membelikan sepatu untuk mereka yang beda ukuran atau beda nomor, tentulah beda jumlah uang yang dibelanjakan. Demikian pula pemberian uang transport dan kebutuhan lainnya.
Saat berbelanja bersama si kecil, terkadang kita orang tua membelikan es krim untuknya; dan es krim lainnya untuk sang Kakak yang tinggal di rumah. Sesampai di rumah si Kecil merengek minta lagi, padahal es krim yang tersisa satu itu adalah jatah untuk sang Kakak. Ibu yang bijak tidak boleh begitu saja mengalihkan jatah sang Kakak demi meredam tangis si Kecil. Sebab, merampas hak sang Kakak sama halnya menamamkan sikap tak adil dan potensial memunculkan rasa cemburu; di sisi lain juga memanjakan si Kecil.
Jika si kecil menangis, biarlah ia menangis dan belajar menyadari haknya (es krim) yang telah ia santap habis saat belanja dan es krim yang lain adalah hak sang Kakak. Seandainya tangis si Kecil tak kunjung reda, kita justeru dapat memberi pemahaman kepada sang Kakak: mintalah tolong kepada sang Kakak untuk ikut meredakan tangis adiknya. Caranya, ajak dan ajari dia untuk berbagi es krim milikinya dengan si Kecil.
Secara matematis, dalam pembagian es krim, Si Kecil mendapat 1,5 bagian dan sang Kakak hanya 0,5 bagian. Pasalnya, si Kecil telah menyantap es krim saat belanja bersama Ibu dan mendapat separoh bagian lagi dari sang Kakak. Sekilas tampak adanya ketidakadilan. Namun, penyadaran kepada sang Kakak adalah sebuah upaya menumbuhkan sikap solidaritas se-seorang (kakak) agar mau berbagi (dengan adiknya). Satu upaya yang tidak kalah mulianya.
Sekali lagi, bersikap adil kepada anak-anak dalam hal materi tidak berarti membagi sesuatu sama rata. Boleh jadi, kita orangtua di saat tertentu baru dapat memberikan sesuatu kepada anak yang satu, dan anak yang lain di hari berikutnya.
Tentang urgensi berbuat adil kepada anak-anak dapat dirunut dari sejumlah sabda Rasulullah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw bersabda Bertakwalah kalian kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian (HR. An-Nu am).
Dalam hadits lain Rasulullah bertitah, Samakanlah di antara anak-anak kalian dalam hal pemberian; seandainya aku mengutamakan seseorang, niscaya akan aku utamakan anak-anak perempuan (HR. Tobroni).
Syaikhan meriwayatkan hadits dari Nu man bin Basyir bahwa ayah Nu man membawanya ke hadapan Rasulullah Saw, lalu ayah Nu man berkata: Sesungguhnya aku telah menghadiahkan seorang hamba pelayanku kepadanya. Rasulullah bertanya, Apakah engkau melakukan hal yang sama terhadap anak-anakmu yang lain? Ayah Nu man menjawab, Tidak. Rasulullah Saw bersabda, Bertakwalah kalian kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian. Maka, ayah Nu man pulang dan menarik kembali pemberian tersebut (Mukhtarul Ahadits, 1993: 1121).
Wa ba'du. Dalam hal pemberia kepada anak, orang tua tidaklah bijak memberi sesuatu kepada satu anak secara sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan saudaranya yang lain. Betapa pun sikap adil menuntut kejujuran atau keterbukaan. Ibarat mata uang, adil dan jujur adalah dua sisi yang tidak terpisahkan.
Kita semua mafhum, jujur dan adil (jurdil) bahkan diadopsi menjadi asas pemilu di negeri ini. Sayangnya, asas itu baru terpakai lima tahun sekali dan bukan untuk praksis kehidupan sehari-hari. Saya kira, kita semua perlu berslogan: Kalau mau adil haruslah jujur; kalau maju jujur mestilah adil. (*)