Sabtu, 18 Januari 2025 11.47
Ketika Kata Menjadi Jembatan: Literasi, Kesenjangan dan Perubahan Sosial( 3)
Media alternatif menawarkan jalan baru yang tidak pernah ada
sebelumnya. Ketika dunia digital tumbuh menjadi ruang yang semakin mendominasi
kehidupan, akses terhadap informasi tidak lagi bergantung pada buku atau jurnal
cetak. Media sosial, blog, podcast, hingga video pendek membuka peluang bagi
cendekiawan untuk menyampaikan gagasan mereka kepada audiens yang jauh lebih
luas. Namun, keberhasilan penggunaan media alternatif ini bergantung pada
kemampuan untuk memahami karakteristik setiap platform. Sebuah artikel panjang
mungkin cocok untuk blog, tetapi di media sosial seperti Twitter atau
Instagram, gagasan harus diringkas menjadi pesan singkat yang tetap bermakna.
Media alternatif juga memungkinkan interaksi dua arah, di mana masyarakat dapat
memberikan umpan balik secara langsung, menciptakan dialog yang memperkaya
gagasan awal. Dengan demikian, media digital bukan hanya alat untuk menyebarkan
ide, tetapi juga ruang untuk membangun hubungan yang lebih erat antara
cendekiawan dan masyarakat.
Kolaborasi adalah inti dari transformasi sosial yang berkelanjutan.
Ketika cendekiawan bekerja sendiri, gagasan mereka cenderung terbatas pada
lingkup kecil. Namun, ketika mereka bermitra dengan organisasi lokal,
komunitas, atau bahkan sektor swasta, ide-ide tersebut dapat berkembang menjadi
gerakan yang nyata. Kolaborasi memungkinkan distribusi tanggung jawab, di mana
setiap pihak memainkan perannya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam situasi
ekonomi yang sulit, kolaborasi dapat membuka jalan bagi implementasi gagasan
yang sebelumnya hanya ada di atas kertas. Misalnya, penelitian tentang
pengelolaan sampah organik dapat dikolaborasikan dengan kelompok masyarakat
yang fokus pada pemberdayaan ekonomi lokal. Hasilnya adalah manfaat ganda:
mengatasi masalah lingkungan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dengan kolaborasi yang efektif, karya-karya cendekiawan tidak hanya menjadi
wacana, tetapi juga menjadi solusi yang dapat diakses oleh mereka yang
membutuhkan.
Setiap aspek ini saling terhubung dan saling melengkapi.
Relevansi memastikan gagasan tetap membumi, bahasa yang mudah dipahami
menjadikannya inklusif, media alternatif memperluas jangkauannya, dan
kolaborasi memastikan gagasan itu menjadi aksi nyata. Di tengah kondisi yang
penuh tantangan, cendekiawan dituntut untuk berpikir strategis, berempati, dan
inovatif. Namun, perjalanan ini belum selesai. Masih ada ruang untuk
mengeksplorasi bagaimana keseimbangan antara kebutuhan dasar, literasi, dan
teknologi dapat tercapai tanpa mengorbankan salah satunya.
Di tengah kondisi yang penuh tekanan, kesenjangan ekonomi
menjadi salah satu penghalang terbesar dalam upaya menjembatani dunia literasi
dan kebutuhan dasar. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang
akses yang sangat berbeda terhadap sumber daya dan peluang. Di satu sisi,
mereka yang hidup dalam kelimpahan memiliki waktu dan kemampuan untuk
mengembangkan diri melalui literasi, teknologi, dan pendidikan. Di sisi lain,
mereka yang berada di bawah garis kesejahteraan sering kali harus mengorbankan
pendidikan dan literasi demi kelangsungan hidup sehari-hari. Akibatnya,
literasi menjadi semacam kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian
kecil masyarakat. Ini menciptakan lingkaran setan: ketidakmampuan untuk
mengakses literasi menghalangi peluang untuk keluar dari kemiskinan, sementara
kemiskinan itu sendiri terus mempersempit akses terhadap literasi.
Penulis: W Sugiri
Editor: Ismer
Copyright ©2025 Suara Purwokerto. All Rights Reserved
Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX