Kolom

KOLOM SPESIAL

Sabtu, 18 Januari 2025 11.46

Ketika Kata Menjadi Jembatan: Literasi, Kesenjangan dan Perubahan Sosial

( 3)

<!--StartFragment-->

 Oleh : W Sugiri

<!--EndFragment-->

<!--StartFragment-->

<!--StartFragment-->

<!--StartFragment-->

Media alternatif menawarkan jalan baru yang tidak pernah ada sebelumnya. Ketika dunia digital tumbuh menjadi ruang yang semakin mendominasi kehidupan, akses terhadap informasi tidak lagi bergantung pada buku atau jurnal cetak. Media sosial, blog, podcast, hingga video pendek membuka peluang bagi cendekiawan untuk menyampaikan gagasan mereka kepada audiens yang jauh lebih luas. Namun, keberhasilan penggunaan media alternatif ini bergantung pada kemampuan untuk memahami karakteristik setiap platform. Sebuah artikel panjang mungkin cocok untuk blog, tetapi di media sosial seperti Twitter atau Instagram, gagasan harus diringkas menjadi pesan singkat yang tetap bermakna. Media alternatif juga memungkinkan interaksi dua arah, di mana masyarakat dapat memberikan umpan balik secara langsung, menciptakan dialog yang memperkaya gagasan awal. Dengan demikian, media digital bukan hanya alat untuk menyebarkan ide, tetapi juga ruang untuk membangun hubungan yang lebih erat antara cendekiawan dan masyarakat.

 

Kolaborasi adalah inti dari transformasi sosial yang berkelanjutan. Ketika cendekiawan bekerja sendiri, gagasan mereka cenderung terbatas pada lingkup kecil. Namun, ketika mereka bermitra dengan organisasi lokal, komunitas, atau bahkan sektor swasta, ide-ide tersebut dapat berkembang menjadi gerakan yang nyata. Kolaborasi memungkinkan distribusi tanggung jawab, di mana setiap pihak memainkan perannya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam situasi ekonomi yang sulit, kolaborasi dapat membuka jalan bagi implementasi gagasan yang sebelumnya hanya ada di atas kertas. Misalnya, penelitian tentang pengelolaan sampah organik dapat dikolaborasikan dengan kelompok masyarakat yang fokus pada pemberdayaan ekonomi lokal. Hasilnya adalah manfaat ganda: mengatasi masalah lingkungan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan kolaborasi yang efektif, karya-karya cendekiawan tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga menjadi solusi yang dapat diakses oleh mereka yang membutuhkan.

 

Setiap aspek ini saling terhubung dan saling melengkapi. Relevansi memastikan gagasan tetap membumi, bahasa yang mudah dipahami menjadikannya inklusif, media alternatif memperluas jangkauannya, dan kolaborasi memastikan gagasan itu menjadi aksi nyata. Di tengah kondisi yang penuh tantangan, cendekiawan dituntut untuk berpikir strategis, berempati, dan inovatif. Namun, perjalanan ini belum selesai. Masih ada ruang untuk mengeksplorasi bagaimana keseimbangan antara kebutuhan dasar, literasi, dan teknologi dapat tercapai tanpa mengorbankan salah satunya.

 

Di tengah kondisi yang penuh tekanan, kesenjangan ekonomi menjadi salah satu penghalang terbesar dalam upaya menjembatani dunia literasi dan kebutuhan dasar. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka, tetapi tentang akses yang sangat berbeda terhadap sumber daya dan peluang. Di satu sisi, mereka yang hidup dalam kelimpahan memiliki waktu dan kemampuan untuk mengembangkan diri melalui literasi, teknologi, dan pendidikan. Di sisi lain, mereka yang berada di bawah garis kesejahteraan sering kali harus mengorbankan pendidikan dan literasi demi kelangsungan hidup sehari-hari. Akibatnya, literasi menjadi semacam kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Ini menciptakan lingkaran setan: ketidakmampuan untuk mengakses literasi menghalangi peluang untuk keluar dari kemiskinan, sementara kemiskinan itu sendiri terus mempersempit akses terhadap literasi.

 

<!--EndFragment-->

Penulis: W Sugiri

Editor: Ismer

Berita Terkait

Copyright ©2025 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX