Kolom

KOLOM SPESIAL

Kamis, 16 Januari 2025 11.34

<!--StartFragment-->

Ketika Kata Menjadi Jembatan: Literasi, Kesenjangan dan Perubahan Sosial ( Bagian 1)

Oleh : W Sugiri

 Dalam bentangan kehidupan yang semakin kompleks, manusia dihadapkan pada berbagai persimpangan, salah satunya adalah pertarungan antara kebutuhan dasar dan kehausan akan intelektualitas. Ketika dunia diguncang oleh ketidakstabilan ekonomi, kebutuhan akan makanan, tempat tinggal, dan rasa aman menjadi prioritas yang mendesak. Namun, di sisi lain, ada panggilan sunyi dari literasi, sebuah dunia yang menjanjikan pencerahan dan solusi jangka panjang bagi persoalan hidup. Di tengah kekacauan ini, manusia dihadapkan pada dilema: harus mendahulukan yang mendesak atau yang mendalam?

 

Kesenjangan ekonomi adalah akar dari banyak masalah ini. Ia melahirkan jurang yang semakin lebar antara mereka yang berkelebihan dan mereka yang kekurangan. Bagi segelintir orang yang hidup di puncak piramida ekonomi, literasi, inovasi, dan eksplorasi ide menjadi kemewahan yang dapat dinikmati kapan saja. Namun, bagi mereka yang bergulat dengan tekanan hidup sehari-hari, ide-ide besar itu seringkali terasa jauh dan tidak relevan. Apa gunanya berbicara tentang literasi digital jika internet masih menjadi barang mahal? Apa pentingnya membahas filsafat atau teori ekonomi ketika sebagian besar masyarakat berjuang untuk sekadar makan tiga kali sehari?

 

Di sisi lain, dunia digital menciptakan ironi baru. Ia membuka pintu bagi semua orang untuk mengakses informasi tanpa batas, tetapi pintu itu seringkali hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kunci berupa akses teknologi dan pendidikan. Mereka yang berada di pinggiran, baik secara geografis maupun sosial, hanya bisa mengintip dari luar, terpinggirkan oleh ketidakmampuan finansial dan keterbatasan infrastruktur. Ini menambah tantangan baru bagi para cendekiawan, yang harus memikirkan cara agar ilmu pengetahuan dan gagasan mereka dapat menjangkau masyarakat luas, tanpa terjebak dalam eksklusivitas yang membatasi.

 

Kebutuhan dasar, seperti makanan dan tempat tinggal, adalah fondasi dari kehidupan manusia. Tanpa itu, segalanya menjadi rapuh. Namun, kebutuhan ini tidak boleh mengalahkan pentingnya upaya untuk memahami dunia secara lebih luas. Di sinilah literasi dan pemahaman intelektual memainkan peran penting. Ketika seseorang memahami dasar-dasar ekonomi, ia mampu mengelola sumber daya dengan lebih baik. Ketika masyarakat memahami pentingnya kolaborasi, mereka dapat mengatasi tantangan kolektif dengan lebih efektif. Tetapi literasi ini hanya dapat menjadi relevan jika disampaikan dalam bahasa yang sederhana dan menyentuh langsung permasalahan yang dihadapi masyarakat.

 

Dalam dunia yang bergerak cepat, manusia dituntut untuk membuat prioritas yang bijak. Ada saat di mana kebutuhan dasar harus menjadi fokus utama, tetapi ada pula saat di mana kita harus melampaui kebutuhan itu dan mulai membangun kapasitas intelektual dan emosional. Kesadaran akan prioritas ini bukanlah hal yang datang dengan sendirinya. Ia adalah hasil dari pendidikan, pengalaman, dan kemauan untuk terus belajar. Dan di sinilah para cendekiawan memiliki tanggung jawab besar. Mereka tidak hanya bertugas menghasilkan gagasan, tetapi juga memastikan gagasan itu dapat diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang relevan dan bermanfaat.

 

Bahasa yang sederhana adalah kunci utama. Dunia literasi sering terjebak dalam keangkuhan intelektual, di mana keindahan tulisan dianggap lebih penting daripada kemanfaatannya. Padahal, esensi dari literasi adalah jembatan, bukan tembok. Ketika para cendekiawan mampu menyederhanakan gagasan rumit menjadi sesuatu yang dapat dipahami oleh semua orang, mereka tidak hanya memajukan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendekatkan dunia intelektual dengan masyarakat.

 

Media digital menawarkan peluang besar untuk ini. Dengan memanfaatkan media sosial, blog, dan video, gagasan besar dapat disampaikan kepada khalayak luas dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Namun, penggunaan media ini juga memerlukan kepekaan terhadap konteks sosial. Pesan yang disampaikan harus relevan, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat. Tidak ada gunanya berbicara tentang inovasi teknologi tinggi jika sebagian besar penduduk masih berjuang untuk mendapatkan akses listrik yang stabil.

 

Kolaborasi adalah jawaban lain atas tantangan ini. Ketika para cendekiawan bekerja bersama dengan organisasi masyarakat, komunitas lokal, atau bahkan pemerintah, gagasan mereka memiliki peluang lebih besar untuk diterapkan. Kolaborasi ini juga membantu memastikan bahwa karya intelektual tidak hanya menjadi milik segelintir orang, tetapi menjadi bagian dari solusi kolektif yang melibatkan semua pihak.

 

Pada akhirnya, manusia harus memahami bahwa hidup bukanlah tentang memilih antara kebutuhan dasar dan literasi, tetapi tentang menemukan keseimbangan di antara keduanya. Dunia akan terus berubah, dan tantangan akan terus bermunculan. Tetapi selama manusia memiliki keinginan untuk belajar, bekerja sama, dan saling memahami, selalu ada harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, di mana literasi, teknologi, dan kebutuhan dasar dapat berjalan beriringan, bukan saling mengesampingkan.

 

Relevansi menjadi langkah awal yang paling mendasar. Di tengah tantangan ekonomi yang memaksa manusia memprioritaskan kebutuhan dasar, para cendekiawan perlu menghasilkan karya yang mampu menjawab persoalan nyata. Relevansi tidak hanya soal topik, tetapi juga cara penyampaian gagasan. Dalam situasi ekonomi yang penuh tekanan, masyarakat lebih membutuhkan solusi langsung dibandingkan ide-ide yang terasa abstrak. Misalnya, sebuah penelitian yang membahas strategi pengelolaan keuangan keluarga di masa krisis akan jauh lebih bermanfaat daripada teori ekonomi yang hanya dapat diaplikasikan dalam skala makro. Relevansi juga dapat diwujudkan melalui pendekatan lokal, di mana karya-karya ilmiah dan literasi diarahkan untuk menjawab permasalahan spesifik yang dihadapi suatu komunitas. Dengan demikian, intelektual tidak hanya berdiri di menara gading, tetapi turun langsung menjadi bagian dari solusi kolektif.

 

>Bahasa yang mudah dipahami adalah jembatan antara dunia intelektual dan masyarakat luas. Dalam situasi di mana akses terhadap pendidikan sering kali terbatas, keahlian cendekiawan untuk menyederhanakan bahasa adalah bentuk empati yang nyata. Bahasa sederhana bukan berarti menurunkan kualitas gagasan, melainkan memperluas cakupan audiens. Ia menciptakan ruang di mana gagasan besar dapat menyentuh kehidupan orang biasa, membantu mereka menemukan solusi dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah karya ilmiah yang diterjemahkan ke dalam infografik, cerita pendek, atau panduan praktis memiliki daya jangkau yang jauh lebih luas daripada artikel yang hanya dapat dipahami oleh segelintir orang terdidik. Oleh karena itu, kemampuan berkomunikasi secara sederhana adalah salah satu bentuk kontribusi paling strategis yang dapat dilakukan oleh seorang cendekiawan dalam situasi yang penuh tantangan

>( Bersambung)<!--EndFragment-->

Penulis: W Sugiri

Editor: Ismer

Berita Terkait

Copyright ©2025 Suara Purwokerto. All Rights Reserved

Version: 1.23.3 | Build ID: FHBRa1vRFd-dgFqX1RoWX